Total Tayangan Halaman

Jumat, 26 September 2014

UPACARA DAN LEGENDA KRATON YOGYAKARTA



A.    Sekaten
                   Menurut sejarahnya, perayaan Sekaten bermula sejak zaman kerajaan Islam Demak. Meski sebelumnya, ketika zaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, perayaan semacam Sekaten yang disebut “Sradaagung” itu sudah ada. Perayaan yang menjadi tradisi kerajaan Majapahit tersebut berupa persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur.
                   Namun ketika Majapahit runtuh dan kemudian berdiri kerajaan Islam Demak oleh Raden Patah (Raja Demak pertama) dengan disertai dukungan para wali, perayaan tersebut selanjutnya dialihkan menjadi kegiatan yang bersifat Islami. Serta menjadi sarana pengembangan (syiar) Islam yang dilakukan oleh para wali, dengan membunyikan gamelan yang bernama Kyai Sekati pada setiap bulan Mulud (Jawa), dalam rangka perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan itu kemudian disebut Sekaten. Kata sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu Syahadatain yang berarti dua syahadat atau kesaksian. Dua syahadat itu ialah :
1.      Syahadat Tauhid
Kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Lafalnya : Asyhadu alla ilaaha illallah (saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah).
2.      Syahadat Rasul
Kesaksian atau pengakuan bahwa Nabi Muhammad itu rasul (utusan Allah). Lafalnya : Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu utusan Allah).
             Perayaan Sekaten yang diselenggarakan di Kraton Yogyakarta berlangsung dari tanggal 5 hingga 11 Mulud (Rabiul Awal). Acara ini diawali dengan dibunyikan  2 perangkat gamelan yang bernama Kyai Guntur Madu (dari Demak) dan Kyai Nagawilaga (ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono I) di Bangsal Ponconiti disertai pemberian sedekah dari Sultan berupa Udhik-udhik, oleh utusan Sultan.
             Setelah selesai, kemudian dengan dikawal oleh para prajurit Kraton, 2 perangkat gamelan tersebut dikeluarkan menuju halaman Masjid Agung. Selanjutnya gamelan Kyai Guntur Madu ditempatkan di Pagongan Selatan dan Kyai Nagawilaga ditempatkan di Pagongan Utara. Pagongan ialah bangunan berbentuk panggung yang digunakan untuk menempatkan dan sekaligus untuk membunyikan gamelan sekaten. Bangunan tersebut ada 2, terletak di halaman depan masjid Agung, disebelah selatan dan utara.
             Dengan gending-gending tertentu ciptaan para wali, dibunyikanlah gamelan tersebut secara bergantian selama 7 hari, kecuali Kamis Malam sampai Jum’at siang sehabis shalat jum’at, pada jam 08.00-12.00 wib, 14.00-17.00 wib dan 20.00-24.00 wib. Gending-gending sekaten yang  dibawakan adalah : Rambu-rambu, rangkung, lunggadhung, atur-atur, andung-andung, rendheng, jaumi, gliyung, salatun, dhindhang sabinah, muru putih dan orang-aring, ngajatun, bayem tur, supiyatun, srundeng gosong, sir tupana, muhambara, sapangatul robani dan ngasuibi. Semula gamelan sekaten itu memiliki daya panggil yang sangat besar terhadap warga masyarakat  dan mereka berdatangan menyaksikannya. Kepada mereka kemudian diberikan penyuluhan tentang agama Islam. Bagi masyarakat yang sukarela menyatakan masuk Islam, diberikan bimbingan untuk mengikrarkan imannya dengan mengucapkan Syahadatain atau dua kalimat Syahadat. Terjadi perubahan ucapan maka kata Syahadatain berubah menjadi Sekaten.
             Inti dari perayaan ini berupa peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tanggal 11 Mulud Malam di Serambi Masjid Agung dengan pembacaan riwayat Nabi Muhamad SAW oleh Abdidalem Penghulu Kraton di hadapan Sultan. Acara ini bersifat resmi. Setelah acara selesai 2 perangkat gamelan Sekaten diusung kembali menuju ke kraton.
             Pada setiap 12 Mulud diselenggarakan upacara adat kraton, yaitu Upacara Grebeg Mulud sebagai puncak dari perayaan Sekaten.

Gelar dan Kedudukan Bangsawan Kraton Yogyakarta



                   Gelar atau titel dan kedudukan bangsawan kraton itu diatur didalam suatu peraturan yang disebut “Pranatan lan Kalungguhan Pranatan Bab Sesebutan Kalungguhan Para Putra Sentana lan Darahing Panjenengan Nata Jen Pinuju Pasamuan, Sapanunggalane”.
                   Pada dasarnya peraturan ini menunjukkan kepada kita, gelar-gelar dan kedudukan para bangsawan kraton, baik itu keturunan raja maupun bangsawan lain yang bukan keturunan raja (sentana). Peraturan ini disyahkan pada tanggal 3 Mei 1927. Secara terperinci pada bab pertama Pranata ini menyebutkan Gelar Bangsawan Pria, yang isinya sebagai berikut :
1.      Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, sebutan untuk putra mahkota (putra sultan) yang nantinya akan menggantikan kedudukan raja, putra dari permaisuri.
2.      Kanjeng Panembahan, sebutan untuk putra sultan yang mendapat anugerah tinggi karena jasa-jasanya terhadap raja dan negara. Di Kraton Yogyakarta pernah ada gelar Panembahan ini, yaitu pada zaman sekitar Sultan Hamengku Buwono V bertahta. Saat itu yang diangkat/dianugerahi gelar ini adalah Panembahan Mangkurat. Panembahan Mangkurat dianggap berjasa besar sekali, berkenaan dengan kedudukannya sebagai Wali Raja. Pada zaman Sultan Hamengku Buwono IX gelar tersebut juga diberikan kepada Pangeran Poerboyo (adik HB IX) beliau menyelamatkan Bintang Pusaka kepada KGPH. Mangkubumi ketika dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono pada tanggal 7 Maret 1989.
3.      Kanjeng Gusti Pangeran Adipati, gelar anugerah yang diberikan kepada putra sultan. Seorang KGPA ini oleh sultan diberi satu wilayah kecil yang ada dalam lingkungan wewenang sultan dan diberi pula wewenang untuk membentuk pemerintahan serta prajurit, namun kedudukannya tetap berada dibawah sultan. Gelar ini untuk Sentana Kraton Yogyakarta diberikan kepada Pangeran Notokusuma (1813), yang kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I.
4.      Kanjeng Gusti Pangeran Harya, sebutan anugerah kepada putra sultan yang kedudukannya sebagai Lurah Pangeran (yang memimpin para Pangeran).
5.      Gusti Pangeran, gelar untuk putra sulung sultan yang terlahir dari istri selir (setelah diangkat sebagai Pangeran).
6.      Gusti Pangeran Harya, gelar untuk putra sultan yang terlahir dari istri Permaisuri (setelah diangkat sebagai Pangeran).
7.      Bendara Pangeran Harya, gelar untuk putra Sultan yang lain, yang dilahirkan dari istri Selir (setelah diangkat sebagai Pangeran).
8.      Kanjeng Pangeran Adipati, gelar kepangkatan yang dianugerahkan kepada Sentana yang dianggap berjasa.
9.      Kanjeng Pangeran Harya, gelar kepangkatan yang dianugerahkan kepada seseorang, tetapi kedudukannya ada dibawah Kanjeng Pangeran Adipati.
10.  Gusti Raden Mas, gelar untuk putra Sultan yang terlahir dari istri Permaisuri, sebelum diangkat sebagai Pangeran.
11.  Bendara Raden Mas, gelar untuk putra sultan yang lahir dari istri Selir atau putra dari Putra mahkota (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom) yang belum menjadi Pangeran.
12.  Raden Mas Harya, gelar kebangsawanan yang diberikan sultan kepada seseorang sebagai anugerah.
13.  Raden Mas, gelar untuk keturunan ketiga kebawah sultan, sampai seterusnya (orang Jawa menyebutnya canggah) .
14.  Raden atau Raden Bagus, gelar untuk keturunan sultan dari generasi kelima kebawah.
15.  Mas, gelar untuk abdidalem yang berasal dari rakyat.
Sedang bab kedua Pranata ini menyebutkan gelar Bangsawan Putri, yang berisi sebagai berikut :
1.      Gusti Kanjeng Ratu, gelar dan sebutan untuk Permaisuri atau Putri sultan yang lahir dari istri Permaisuri, dan sudah menikah.
2.      Kanjeng Ratu, gelar untuk putri sulung sultan yang lahir dari istri Selir, dan sudah menikah.
3.      Gusti Raden Ayu, gelar untuk putri sultan yang lahir dari istri Permaisuri, yang sudah dewasa tetapi belum menikah.
4.      Gusti Raden Ajeng, gelar untuk putri sultan yang lahir dari istri Permaisuri, yang masih kanak-kanak atau belum dewasa.
5.      Bendara Raden Ayu, gelar untuk putri sultan yang lahir dari istri Selir dan sudah menikah.
6.      Bendara Raden Ajeng, gelar untuk putri sultan yang lahir dari istri Selir atau putri dari putra Mahkota yang belum menikah.
7.      Raden Ayu, gelar cucu sampai cucu cucu cucu atau canggah (angkatan kelima kebawah) sultan yang sudah menikah atau istri para pangeran yang bukan putra/putri sultan.
8.      Raden Ajeng, gelar sebutan cucu atau canggah sultan yang belum menikah.
9.      Raden atau Raden Nganten, sebutan gelar cucu sampai cucu cucu atau wareng (angkatan keenam kebawah) sultan yang telah menikah, atau istri para Bupati yang berasal dari rakyat.
10.  Raden Rara, sebutan gelar wareng yang belum menikah.
11.  Kanjeng Bendara, gelar sebutan untuk istri sultan yang mengepalai para istri Selir sultan.
12.  Kanjeng Raden Ayu, gelar untuk istri Permaisuri sultan atau istri pertama putra mahkota (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom).
13.  Bendara Mas Ajeng atau Bendara Mas Ayu, gelar sebutan untuk istri selir sultan atau istri selir putra mahkota yang berasal dari rakyat. Sedang selir para pangeran yang berasal dari rakyat sebutannya Mas Ajeng atau Mas Ayu.
                   Pada peringatan Hari Ulang Tahun 40 tahun Sri Sultan Hamengku Buwono IX naik tahta, ada anugerah gelar tambahan Gusti pada gelar Bendara Pangeran Harya dan Bendara Raden Ayu, sehingga gelar tersebut menjadi Gusti Bendara Pangeran Harya (GBPH) untuk putra dan Gusti Bendara Raden Ayu (GBRAy) untuk putri.
                   Gusti Bendara Raden Ayu itu sebetulnya diberikan untuk putri sultan yang lahir dari istri Permaisuri, tetapi pada peringatan tersebut, gelar-gelar itu diberikan kepada putri-putri Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang terlahir dari istri-istri selir beliau.
Golongan Bangsawan atau Ningrat di kraton dibedakan atas :
a.       Bangsawan yang benar-benar keturunan raja, adalah keturunan grade pertama sampai dengan keturunan grade kelima. Mereka yang termasuk golongan bangsawan ini, dimuka namanya bertitel Gusti Pangeran (paling atas) sampai Raden (paling bawah), yang urutannya mulai dari Gusti Pangeran, Bendara Raden Mas (putra Sultan), Bendara Raden Ajeng (Putri raja yang belum menikah), Bendara Raden Ayu (putri raja yang sudah menikah), Raden Mas (RM), dan Raden, termasuk cucu raja kebawah. Mereka semua termasuk kategori bangsawan keluarga raja ini, biasanya disebut ndara.
b.      Bangsawan yang karena perkawinannya dengan keluarga raja, maka dianggap dan menjadi kerabat raja, atau bisa juga terjadi karena jabatan yang diberikan oleh raja kepadanya. Golongan bangsawan ini biasanya bertitel Kanjeng Pangeran Harya (KPH) atau Kanjeng Raden Tumenggung (KRT).

KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT


Sejarah Berdirinya Kasultanan Yogyakarta


                        Sebelum berdirinya Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman, pada waktu itu yang ada hanya Kraton Kasunanan Surakarta, pindahan dari Kraton Mataram Kartasura. Ketika istananya masih berada di Kartasura, terjadi peristiwa pemberontakan orang-orang China (GEGER PACINA) pada tahun 1740-1743. Paku Buwono II tidak berdaya menghadapi pemberontakan ini, dan hanya dengan bantuan Belandalah peristiwa itu dapat dipadamkan. Karena istana Kartasura mengalami kerusakan yang parah sekali, lalu ibukota dipindahkan ke Desa Solo, yang kemudian disebut Surakarta.
                   Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono II di Kraton Surakarta (1744), masih terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Tumenggung  Mertopuro melawan Kraton Surakarta, namun oleh Pangeran Mangkubumi (adik Paku Buwono II) Tumenggung  Mertopuro dapat ditaklukannya.
                   Dalam suatu perundingan antara Paku Buwono II yang didampingi oleh Pangeran Mangkubumi (penasehat kepercayaannya) dengan pihak Belanda yang diwakili oleh Mr.Hoogendorf, utusan Belanda itu meminta Paku Buwono II untuk menyerahkan seluruh wilayah pesisir utara Jawa kepada VOC. Permintaan itu sebagai tuntutan atas jasa Belanda ketika berhasil memadamkan pemberontakan orang-orang China di Kartasura. Pangeran Mangkubumi tidak menyetujui permintaan itu, meski ia tahu bahwa kedudukan Paku Buwono II sangat sulit. Berawal dari masalah itu Pangeran Mangkubumi kemudian memohon izin dan doa restu kepada Paku Buwono II untuk menentang dan mengangkat senjata melawan Kompeni Belanda /VOC.
                   Setelah mendapat restu dari Paku Buwono II, dengan memperoleh pusaka tombak Kyai Plered, lalu pada tanggal 21 April 1747 Pangeran Mangkubumi meninggalkan Kraton Surakarta menuju ke dalam hutan bersama keluarga dan pasukannya yang setia untuk bergerilya melawan VOC. Dalam mengadakan perlawanannya itu, Pangeran Mangkubumi bergabung dengan RM Said (Pangeran Sambernyawa) yang sudah lebih dahulu menentang Paku Buwono II dan VOC.
                   Sebelum Paku Buwono II wafat, kekuasaan seluruh tanah jawa telah diserahkan kepada VOC (16 Desember 1749). Karena itu yang menobatkan/mengangkat raja-raja di tanah Jawa keturunan Paku Buwono II adalah VOC. Setelah Paku Buwono II wafat, Belanda mengangkat RM. Suryadi (Putra Mahkota) sebagai Sunan Paku Buwono III. Ia praktis jadi boneka, karena menurut kontrak politik, raja tersebut   hanya berkedudukan sebagai peminjam tanah VOC.
                   Ketika pemerintahan Paku Buwono III ini, perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap Belanda semakin hebat. Dalam setiap pertempuran pasukan Belanda selalu terdesak oleh serangan Pangeran  Mangkubumi. Bahkan ketika terjadi pertempuran sengit di Sungai Bogowonto, semua pasukan Belanda termasuk komandanya mati terbunuh. Akhirnya Belanda meminta kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding.
                   Kemudian terjadilah perjanjian antara ketiga pihak, yaitu Pangeran Mangkubumi, Paku Buwono III dan Belanda/VOC. Perjanjian itu diadakan di Desa Giyanti (Salatiga) pada tanggal 13 Februari 1755, maka disebutlah perjanjian ini dengan sebutan Perjanjian Giyanti. Akibat dari perjanjian itu, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta.
                   Selanjutnya dengan daerah barunya itu, Pangeran Mangkubumi mendirikan Kerajaan Mataram Yogyakarta di wilayah Baringan pada tahun 1756. Beliau kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Gelar lengkapnya adalah : Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Pranotogomo Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.