A.
Sekaten
Menurut
sejarahnya, perayaan Sekaten bermula sejak zaman kerajaan Islam Demak. Meski
sebelumnya, ketika zaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, perayaan
semacam Sekaten yang disebut “Sradaagung” itu sudah ada. Perayaan yang menjadi
tradisi kerajaan Majapahit tersebut berupa persembahan sesaji kepada para dewa,
disertai dengan mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur.
Namun
ketika Majapahit runtuh dan kemudian berdiri kerajaan Islam Demak oleh Raden
Patah (Raja Demak pertama) dengan disertai dukungan para wali, perayaan
tersebut selanjutnya dialihkan menjadi kegiatan yang bersifat Islami. Serta
menjadi sarana pengembangan (syiar) Islam yang dilakukan oleh para wali, dengan
membunyikan gamelan yang bernama Kyai Sekati pada setiap bulan Mulud (Jawa),
dalam rangka perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan itu kemudian
disebut Sekaten. Kata sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu Syahadatain yang
berarti dua syahadat atau kesaksian. Dua syahadat itu ialah :
1.
Syahadat
Tauhid
Kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.
Lafalnya : Asyhadu alla ilaaha illallah (saya bersaksi tidak ada Tuhan selain
Allah).
2.
Syahadat
Rasul
Kesaksian atau pengakuan bahwa Nabi Muhammad itu rasul (utusan
Allah). Lafalnya : Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (dan saya bersaksi
bahwa Nabi Muhammad itu utusan Allah).
Perayaan Sekaten
yang diselenggarakan di Kraton Yogyakarta berlangsung dari tanggal 5 hingga 11
Mulud (Rabiul Awal). Acara ini diawali dengan dibunyikan 2 perangkat gamelan yang bernama Kyai Guntur
Madu (dari Demak) dan Kyai Nagawilaga (ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono I) di
Bangsal Ponconiti disertai pemberian sedekah dari Sultan berupa Udhik-udhik,
oleh utusan Sultan.
Setelah selesai,
kemudian dengan dikawal oleh para prajurit Kraton, 2 perangkat gamelan tersebut
dikeluarkan menuju halaman Masjid Agung. Selanjutnya gamelan Kyai Guntur Madu
ditempatkan di Pagongan Selatan dan Kyai Nagawilaga ditempatkan di Pagongan
Utara. Pagongan ialah bangunan berbentuk panggung yang digunakan untuk
menempatkan dan sekaligus untuk membunyikan gamelan sekaten. Bangunan tersebut
ada 2, terletak di halaman depan masjid Agung, disebelah selatan dan utara.
Dengan
gending-gending tertentu ciptaan para wali, dibunyikanlah gamelan tersebut
secara bergantian selama 7 hari, kecuali Kamis Malam sampai Jum’at siang
sehabis shalat jum’at, pada jam 08.00-12.00 wib, 14.00-17.00 wib dan
20.00-24.00 wib. Gending-gending sekaten yang
dibawakan adalah : Rambu-rambu, rangkung, lunggadhung, atur-atur,
andung-andung, rendheng, jaumi, gliyung, salatun, dhindhang sabinah, muru putih
dan orang-aring, ngajatun, bayem tur, supiyatun, srundeng gosong, sir tupana,
muhambara, sapangatul robani dan ngasuibi. Semula gamelan sekaten itu memiliki
daya panggil yang sangat besar terhadap warga masyarakat dan mereka berdatangan menyaksikannya. Kepada
mereka kemudian diberikan penyuluhan tentang agama Islam. Bagi masyarakat yang
sukarela menyatakan masuk Islam, diberikan bimbingan untuk mengikrarkan imannya
dengan mengucapkan Syahadatain atau dua kalimat Syahadat. Terjadi perubahan
ucapan maka kata Syahadatain berubah menjadi Sekaten.
Inti dari
perayaan ini berupa peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tanggal 11 Mulud Malam
di Serambi Masjid Agung dengan pembacaan riwayat Nabi Muhamad SAW oleh
Abdidalem Penghulu Kraton di hadapan Sultan. Acara ini bersifat resmi. Setelah
acara selesai 2 perangkat gamelan Sekaten diusung kembali menuju ke kraton.
Pada setiap 12 Mulud
diselenggarakan upacara adat kraton, yaitu Upacara Grebeg Mulud sebagai puncak
dari perayaan Sekaten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar