Total Tayangan Halaman

Jumat, 26 September 2014

KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT


Sejarah Berdirinya Kasultanan Yogyakarta


                        Sebelum berdirinya Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman, pada waktu itu yang ada hanya Kraton Kasunanan Surakarta, pindahan dari Kraton Mataram Kartasura. Ketika istananya masih berada di Kartasura, terjadi peristiwa pemberontakan orang-orang China (GEGER PACINA) pada tahun 1740-1743. Paku Buwono II tidak berdaya menghadapi pemberontakan ini, dan hanya dengan bantuan Belandalah peristiwa itu dapat dipadamkan. Karena istana Kartasura mengalami kerusakan yang parah sekali, lalu ibukota dipindahkan ke Desa Solo, yang kemudian disebut Surakarta.
                   Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono II di Kraton Surakarta (1744), masih terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Tumenggung  Mertopuro melawan Kraton Surakarta, namun oleh Pangeran Mangkubumi (adik Paku Buwono II) Tumenggung  Mertopuro dapat ditaklukannya.
                   Dalam suatu perundingan antara Paku Buwono II yang didampingi oleh Pangeran Mangkubumi (penasehat kepercayaannya) dengan pihak Belanda yang diwakili oleh Mr.Hoogendorf, utusan Belanda itu meminta Paku Buwono II untuk menyerahkan seluruh wilayah pesisir utara Jawa kepada VOC. Permintaan itu sebagai tuntutan atas jasa Belanda ketika berhasil memadamkan pemberontakan orang-orang China di Kartasura. Pangeran Mangkubumi tidak menyetujui permintaan itu, meski ia tahu bahwa kedudukan Paku Buwono II sangat sulit. Berawal dari masalah itu Pangeran Mangkubumi kemudian memohon izin dan doa restu kepada Paku Buwono II untuk menentang dan mengangkat senjata melawan Kompeni Belanda /VOC.
                   Setelah mendapat restu dari Paku Buwono II, dengan memperoleh pusaka tombak Kyai Plered, lalu pada tanggal 21 April 1747 Pangeran Mangkubumi meninggalkan Kraton Surakarta menuju ke dalam hutan bersama keluarga dan pasukannya yang setia untuk bergerilya melawan VOC. Dalam mengadakan perlawanannya itu, Pangeran Mangkubumi bergabung dengan RM Said (Pangeran Sambernyawa) yang sudah lebih dahulu menentang Paku Buwono II dan VOC.
                   Sebelum Paku Buwono II wafat, kekuasaan seluruh tanah jawa telah diserahkan kepada VOC (16 Desember 1749). Karena itu yang menobatkan/mengangkat raja-raja di tanah Jawa keturunan Paku Buwono II adalah VOC. Setelah Paku Buwono II wafat, Belanda mengangkat RM. Suryadi (Putra Mahkota) sebagai Sunan Paku Buwono III. Ia praktis jadi boneka, karena menurut kontrak politik, raja tersebut   hanya berkedudukan sebagai peminjam tanah VOC.
                   Ketika pemerintahan Paku Buwono III ini, perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap Belanda semakin hebat. Dalam setiap pertempuran pasukan Belanda selalu terdesak oleh serangan Pangeran  Mangkubumi. Bahkan ketika terjadi pertempuran sengit di Sungai Bogowonto, semua pasukan Belanda termasuk komandanya mati terbunuh. Akhirnya Belanda meminta kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding.
                   Kemudian terjadilah perjanjian antara ketiga pihak, yaitu Pangeran Mangkubumi, Paku Buwono III dan Belanda/VOC. Perjanjian itu diadakan di Desa Giyanti (Salatiga) pada tanggal 13 Februari 1755, maka disebutlah perjanjian ini dengan sebutan Perjanjian Giyanti. Akibat dari perjanjian itu, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua bagian, yaitu Kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta.
                   Selanjutnya dengan daerah barunya itu, Pangeran Mangkubumi mendirikan Kerajaan Mataram Yogyakarta di wilayah Baringan pada tahun 1756. Beliau kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Gelar lengkapnya adalah : Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Pranotogomo Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar